Senin, 31 Oktober 2016

essai santri

KIPRAH DAN TANTANGAN SANTRI DI ERA DIGITAL

Santri dalam “Hubbul wathan minal iiman”
Pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen. [1]Jika mendengar kata pesantren, maka hal pertama yang terfikirkan adalah kata santri. Panggilan bagi seseorang yang berada di suatu pesantren dengan tujuan mencari ilmu agama islam dalam kurun waktu tertentu dengan kehidupan yang serba sederhana, serta dipimpin oleh seorang alim, atau yang lebih dikenal dengan sebutan kyai, inilah pengertian santri. “Santri, berdasarkan peninjauan tindak langkahnya adalah orang yang berpegang teguh dengan al- qur’an dan mengikuti sunnah Rasul SAW serta teguh pendirian.ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti dan diubah selama – lamanya dan Allahlah yang maha mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya.” (al Maghfur Lahu  KH. Hasani Nawawie, pengasuh pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur)[2]
Seperti yang telah lazim kita ketahui, bahwa Indonesia dikenal sebagai negara berpenduduk islam terbesar di dunia, hal ini terbukti dengan berdirinya banyak pondok pesantren di setiap penjuru negeri ini, dari daerah perkotaan hingga daerah terpencil sekalipun, pondok pesantren tersebar di setiap wilayah di Indonesia  dan ini yang patut kita banggakan sebagai seorang muslim,  Karena sebutan “penduduk islam terbanyak di dunia” bukan hanya sekedar label semata, tapi benar – benar terealisasikan dengan adanya pesantren – pesantren tersebut. Bahkan kemerdekaan negeri ini tak lepas dari jasa dan kiprah para santri, karena pejuang – pejuang kemerdekaan Indonesia adalah mayoritas muslim, seperti bung Tomo, pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, bahkan ada salah seorang ulama besar Indonesia yaitu  KH.Hasyim ‘Asyari, beliau bersama ulama – ulama lain diikuti oleh ribuan santri bersatu membentuk suatu kekuatan  besar yang terkumpul dalam perkumupulan bernama hizbullah, organisasi ini menunjukkan eksistensi santri dalam kiprahnya melawan penjajah. Semboyan hubbul wathan minal iman menjadi landasan para santri untuk berani berjihad demi merdekanya negeri ini, merekalah para pejuang agama Allah yang terdiri dari para santri yang siap mengorbankan semua yang ia miliki untuk  kemerdekaan Indonesia. Dan masih banyak lagi santri – santri negeri ini yang berjuang untuk tegaknya agama Islam.
Sehingga pada masa itu peran santri memang sangat penting terlebih untuk kemerdekaan Indonesia, sampai ada ungkapan bahwa negeri ini adalah warisan para ulama. Tapi memang benar adanya ungkapan tersebut, ulama dan santri adalah kaum penggagas tegaknya negeri Indonesia. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bangsa, santri harus mampu meneruskan perjuangan para ulama terdahulu yang sudah berusaha sampai titik darah penghabisan untuk merdekanya negeri Indonesia. Tidak harus dengan berperang, karena jihad tidak selalu diartikan dengan perang, dengan berusaha menjadi santri yang berinteletual juga merupakan  salah satu cara meneruskan perjuangan para ulama terdahulu.
Tantangan santri dalam dunia modernisasi
Seiring berjalannya waktu, peran santri dan ulama justru menunjukan eksistensi yang semakin lemah, hal ini bisa terjadi karena tergerus oleh modernisasi zaman ini. kehidupan yang serba canggih dan instan,menuntut para santri untuk mampu mengikuti dan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Namun, banyak santri terutama yang tinggal di pesantren salafiy, masih sangat awam dengan kecanggihan teknologi saat ini, padahal untuk bisa menegakkan Islam mereka harus bisa menguasai teknologi tersebut, jangan sampai kalah bersaing dengan kaum – kaum modern yang sudah mampu menguasai dunia dengan kecanggihan teknologi. jika santri tidak mau bergerak menuju perubahan yang lebih baik, maka agama Islam dan negeri ini akan berada diambang keruntuhan.
Semua tradisi islam yang telah turun temurun diwariskan para santri dan ulama zaman dahulu sedikit demi sedikit telah terkontaminasi oleh canggihnya teknologi abad ini, kitab yang menjadi pegangan santri dalam mengkaji ilmu Islam sudah tergantikan oleh canggihnya aplikasi dari internet yang menyediakan situs – situs berisi kitab – kitab kuning, sehingga peran kitab kuning sebagai pegangan santri lama kelamaan mulai musnah, dan itu pun tidak hanya terjadi pada kitab kuning saja, bahkan Al –Qur’an yang merupakan kitab suci pegangan setiap muslim,  sekarang ada yang tersedia dalam bentuk aplikasi, dan ini dikhawatirkan mushaf Al – Qur’an juga akan ikut tergerus teknologi. Lagu – lagu religi dan Qosidah yang identik dengan agama Islam pun sekarang mulai tergerus oleh adanya lagu anak muda yang bergenre pop, reggae, RnB dan sebagainya. Untuk mengkaji ilmu agama islam tidak perlu sulit – sulit dengan belajar di pondok pesanatren atau mendatangi kyai ke rumahnya, karena di internet sudah tersedia berbagai ilmu agama Islam yang bisa didapatkan secara mudah. Sampai – sampai ada yang beranggapan bahwa mesin pencari di Internet terbesar yang biasa disebut Google itu adalah guru atau kyai santri. Ini kejadian miris yang real terjadi di kehidupan santri, padahal tidak semua sumber dari internet adalah benar adanya. Harus bisa selektif mengambil sumber – sumber dari internet, karena semua sumber – sumber itu secara bebas masuk internet tanpa proses seleksi terlebih dahulu.
Pengaruh kecanggihan teknologi terhadap kehidupan pesantren tidak hanya berubah secara material namun juga secara substansi, yaitu dalam sistem pendidikan, sistem pendidikan pesantren terlebih untuk pesantren salafiy masih dianggap sebelah mata oleh masyarakat. Sistem pendidikan pesantren ketika dinilai melalui parameter modernisasi selalu dipandang negatif karena terlalu mempertahankan tradisi dan kurang tanggap terhadap perkembangan dan perubahan zaman.[3] Ini menjadi tantangan bagi pesantren sebagai lembaga pendidikan islam yang sampai saat ini masih mempertahankan nilai – nilai tradisionalnya di tengah hingar bingarnya modernisasi. Namun, walau demikian pesantren tetap memiliki nilai kelebihan dan kekurangan, yang nilai kelebihannya ini mampu memberikan pengaruh bagi masyarakat untuk mau menyekolahkan anak – anak mereka di pesantren. Dengan mengenyam pendidkan di pesantren para santri akan lebih mudah berkomunkasi dengan pengajar secara intensif, karena mereka hidup dalam satu lingkup. Dengan hidup di pesantren akan lebih mudah mengkontrol kegiatan santri. Selain itu, ibadah santri yang merupakan kewajibannya sebagai seorang muslim akan lebih terpantau karena di pesantren pun  ada peraturan yang harus ditaati oleh setiap santri, meskipun pada akhirnya semua tergantung pada individu masing – masing.
Sekarang ini kecenderungan masyarakat telah berubah padahal output pesantren tidak banyak berubah, karena pokok permasalahannya bukan terletak pada potensi santri lulusan pesantren yang tidak pandai, melainkan pergeseran ukuran.[4] Banyak tantangan yang harus dihadapi santri saat ini, yaitu kemajuan berupa pembaharuan, pembangunan, globalisasi dan kemajuan – kemajuan lain abad ini. Dengan adanya tantangan ini, pesantren sebagai lembaga pencetak santri, tidak bisa bersikap isolatif terhadap setiap perkembangan yang muncul, agar eksistensi pesantren tidak  pudar karena kurangnya kecenderungan masyarakat terhadap output pesantren yang belum bisa memaksimalkan kecanggihan teknologi. Dengan demikian, pesantren perlu melakukan pembaharuan yang bisa mengimbangi kemajuan zaman, tetapi materi pembaharuannya harus terlebih dahulu diseleksi secara ketat berdasarkan parameter ajaran – ajaran islam.[5] Pembaharuan ini juga harus dilakukan dengan kreatif dan inovatif sehingga nilai – nilai tradisional yang menjadi ciri khas pondok pesantren, khusunya pondok salafiyah tidak akan hilang.
Kiprah santri untuk perubahan dunia
Sebagai santri, perkembangan teknologi yang semakin digital ini harus dikuasainya dengan baik, karena ini juga akan menyangkut eksistensi pesantren dalam mencetak kader – kader penerus bangsa yang cerdas dan terampil. Perkembangan teknologi ini menjadi tantangan tersendiri bagi santri, bahwa mengikuti dan menguasai kecanggihan teknologi adalah suatu keharusan. jika ingin menjadikan Islam dan Indonesia dua sisi yang bisa berjalan beriringan. Mereka harus mampu menunjukkan bahwa lulusan pondok pesantren juga mampu menjadi agent of change untuk Indonesia, agama Islam bahkan dunia. Dalam mempersiapkan masyarakat madani yang beruhkan keislaman, tantangan yang dihadapi justru semakin besar. Oleh karena itu, pesantren diharapkan mampu menyiapkan kualitas masyarakat islam yang bisa menyeimbangkan kualitas agama dan kemodernisasian.
Peran santri yang mulai pudar  di era modern ini, harus dikembalikan lagi seperti peran santri saat zaman kemerdekaan dulu. Dimana santri sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Menjadi santri merupakan suatu kebanggaan sekaligus tantangan tersendiri, kebanggaan menjadi santri karena mereka mendapatkan dua manfaat sekaligus yang tidak dimiliki oleh pelajar lain, mereka mendapatkan ilmu pengetahuan umum yang menjadi modal mereka menggenggam dunia, namun ilmu umum saja tidak cukup untuk menggenggam dunia, karena ilmu tanpa dibarengi agama bagaikan mengisi air di wadah yang berlubang, bentuk kesia – siaan dan pastinya bukan menajadi ciri seorang santri. Dengan agama pula diri akan terjaga dari segala hal yang hanya berorientasi pada kehidupan dunia.Oleh karena itu, selain belajar ilmu pengetahuan umum, seorang santri juga belajar tentang agama, mulai dari fiqih, aqidah, sejarah islam, gramatikal bahasa arab, balaghah dan sebagainya. Ini yang menjadi nilai tambah seorang santri. Sedangkan menjadi santri merupakan bentuk tantangan, karena santri dituntut mampu menguasai perkembangan zaman yang semakin canggih ini. Santri dituntut bukan hanya sekedar paham ilmu agama namun juga ilmu teknologi seperti saat ini. Tak bisa dipungkiri bahwa agama dan teknologi harus bisa berjalan beriringan, secara otomatis ini menjadi tugas para santri dalam misi menyebarluaskan agama Islam di tengah gemerlapnya zaman ini.






[1] Qomar, Mujamil.2002.pesantren dari transformasi metodologi menuju demokratisasi institusi.Erlangga:Jakarta,hlm 2
[2] Santri.net/informasi/pesantren-indonesia
[3] Ibid hlm 82
[4] Ibid hlm 73
[5] Ibid, hlm 75